TEMA DIDISKUSIKAN PADA ACARA DIKLAT PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN KOORDINATOR WILAYAH HIMMAH NW NTB, TGL 25 JUNI 2011 DI AULA PONPES DARUSSALIMIN SENGKOL MANTANG)
KEPEMIMPINAN NAHDLATUL WATHAN
Permasalahan yang sering terjadi pada ORGANISASI adalah masalah kepemimpinan sebab pola kepemimpinan dalam organisasi itu tidak terlepas dari tiga cara pandang yang berbeda.
1. kepemimpinan dapat dipandang sebagai kemampuan yang melekat dalam diri individu atau orang perorang. Hal ini berarti aspek tertentu dari seseorang tidak memberikan sesuatu penampilan berkuasa dan menyebabkan orang lain menerima perintahnya sebagai suatu yang harus diakui. Individu yang memiliki kekuasaan tersebut diyakini mendapat bimbingan wahyu, memiliki kualitas yang sakral dan menghimpun massa dari masyarakat kebanyakan. (Franklin S. Haiman, Leadership and Democratic Action, (Houghton: Mifflin Company, 1951), h. 19. Kepemimpinan yang bersumber dari kekuasaan luar biasa itu disebut kepemimpinan kharisma atau charismatic authority. Kepemimpinan jenis ini didasarkan pada identifikasi psikologis seseorang dengan orang lain.
2. kepemimpinan terletak bukan pada diri kekuasaan individu, melainkan dalam jabatan atau status yang dipegang oleh individu. Menurut Max Weber, kekuasaan yang bersandar pada tata aturan disebut legal authority artinya atoritas legal diwujudkan dalam organisasi birokratis, tanggung jawab pemimpin dalam mengandalkan organisasi tidak ditentukan penampilan kepribadian dan individu melainkan dari prosedur aturan yang telah disepakati. Unsur-unsur emosional di kesampingkan dan diganti unsur rasional. (Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization, (New York: The Free Press 1966), h. 358.)
ORGANISASI NW, dalam hal ini amat sangat terkesan dengan kepemimpinan kharismatik dan tradisional yang biasanya Max Weber menggunakan istilah authority: charismatic authority, legal authority dan traditional authority. Sehingga struktur masyarakat tradisional seperti pondok pesantren akhirnya memiliki gambaran kepemimpinan dengan gaya paternalistik baik dalam fungsi kepemimpinan maupun dalam corak masyarakatnya. Masyarakat yang bercorak demikian, disebabkan oleh faktor-faktor seperti kuatnya ikatan primordial, kehidupan masyarakat yang kumulalistik, peranan adat istiadat yang sangat kuat dalam kehidupan sehari-hari dan kokohnya hubungan pribadi yang lazim antara anggota kumunitas dengan kumunitas yang lainnya serta adanya extended family system.
KEPEMIMPINAN KHARISMATIK MAMPUKAH BERTAHAN?
• Pada tahap-tahap pertama berkembangnya sebuah Organisasi dan komunitas suatu masyarakat, memang diperlukan kepemimpinan dengan sifat-sifat sedemikian itu, tetapi pada tahap-tahap selanjutnya banyak kerugian yang ditimbulkannya.
• Pertama, munculnya ketidakpastian dalam perkembangan pesantren yang bersangkutan, karena semua hal bergantung kepada keputusan pribadi sang pemimpin. Seringkali proses pengembangan yang direncanakan dengan sadar harus terhenti tanpa dapat diselesaikan dengan tuntas, hanya karena kepemimpinan yang ada kekurangan stamina untuk melanjutkannya, atau sebab-sebab lain yang bersifat pribadi.
• Kedua, sulitnya keadaan bagi tenaga-tenaga pembantu (termasuk calon pengganti yang kreatif) untuk mencoba menerapkan pola-pola pengembangan yang sekiranya tidak diterima oleh kepemimpinan yang ada. Termasuk dalam kesulitan ini adalah sukarnya membuat perkiraan tentang tanggapan yang akan diberikan oleh sang pemimpin atas suatu usulan apakah tanggapan itu bersifat negatif atau positif.
• Kesulitan seperti ini menstimulus mereka untuk merencanakan pengembangan pola-pola baru. Salah satu bentuk kesulitan ini adalah watak fasif yang dimiliki pesantren dalam pengembangan dirinya, sehingga menunggu ajakan dari luar saja. Itupun terkadang dilakukan tanpa pengertian penuh akan maksud baik dan tujuan ajakan dari luar itu.
• Ketiga, pola pengantar kepemimpinan berlangsung secara tiba-tiba dan tidak direncanakan, sehingga lebih banyak ditandai oleh sebab-sebab alami, seperti meninggalnya sang pemimpin secara tiba-tiba. Pola pergantian pimpinan yang berlangsung secara demikian itu seringkali membawa perbedaan pendapat dan saling berlawanan di antara calon-calon pengganti. Upaya untuk mengganti perbedaan pendapat seringkali mengambil waktu sangat panjang yaitu hingga tegaknya kepemimpinan karismatis yang baru.
• Keempat, terjadinya pembauran dalam tingkat-tingkat kepemimpinan di ORGANISASI NW untuk tingkat lokal, regional, dan nasional. Seorang pemimpin ORGANISASI NW yang mencapai peningkatan pengaruh sebagai akibat semakin meluasnya daerah asal yang dijangkau oleh pola penerimaan masyarakatnya, seringkali tidak dapat mengimbangi peningkatan pengaruh itu dengan peningkatan kualitas kepemimpinan yang sanggup melintasi perbedaan tingkat-tingkat yang dihadapi. Cakrawala pemikirannya seringkali masih sangat bersifat lokal, paling tinggi bersifat regional. Jarang ada yang mau memandang kepada ufuk nasional dalam pengembangan organisasi, sehingga tidak banyak meliputi organisasi yang dikelolanya sendiri atau lembaga-lembaga lain yang ada di sekelilingnya.
• Kesemua kerugian yang disebutkan di atas, tidak berarti harus dihilangkan kepemimpinan kharismatis yang menuntut pola kepemimpinan yang lebih direncanakan dan dipersiapkan sebelumnya. Kharisma yang ada dengan demikian akan diperkuat dengan beberapa sifat baru yang mampu menghilangkan kerugian di atas. Prinsip utama yang digunakan adalah dikenal kalangan pesantren sendiri yaitu “ memelihara hal-hal yang baik yang telah ada, sambil mengembangkan hal-hal yang baik”.
(المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح ), memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik. (Nurcholis Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta : Paramadina, 1999, cet. 1. h. xliv.
KEPEMIMPINAN PATERNALISTIK APAKAH ADA DI ORGANISASI NW?
Tipe kepemimpinan semacam paternalistic sangat dominan dilihat dari kriteria sebagai kepemimpinan kebapakan, dengan menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak/belum dewasa, atau anak sendiri yang perlu dikembangkan, selalu bersikap terlalu melindungi (over protective), jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan sendiri, bahkan hampir-hampir tidak pernah memberikan kesempatan untuk mengembangkan imajinasinya dan daya kreativitas mereka sendiri, dan yang paling patal adalah selalu merasa diri paling tahu dan maha benar.Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Pemimpin Abnormal itu?, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2001), cet. 9. H. 69-70.
KEPEMIMPINAN POPULIS DI NW
Kepemimpinan populistis secara teoritis menjelaskan bagaimana kepemimimpinan yang membangun solidaritas, dan bersikap hati-hati dalam mengambil suatu kebijakan yang mengarah kepada persoalan orang banyak, dan kepemimpinan populis ini berpegang teguh pada nilai-nilai masyarakat yang tradisional. Sebutan pemimpin mucul ketika seseorang memiliki kemampuan mengetahui prilaku orang lain, mempunyai keperibadian khas, dan mempunyai kecakapan tertentu yang jarang didapat orang massa (populis).
Kepemimpinan ORGANISASI NW selama ini pada umumnya bercorak alami. Baik pengembangan pesantren dan masyarakat maupun proses pembinaan calon pimpinan yang akan menggantikan pimpinan yang ada, belum memiliki bentuk yang teratur dan tetap. Dalam beberapa hal, pembinaan dan pengembangan masyarakat dan organisasi seperti itu dapat juga menghasilkan kesinambungan (kontinuitas) kepemimpinan yang baik, tetapi pada umumnya hasil yang demikian itu tidak tercapai. Sebagai akibat sering kali terjadi penurunan kualitas kepemimpinan dengan berlangsungnya pergantian pimpinan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
KEPEMIMPINAN DEMOKRATIS
Secara teoritis, kepemimpinan demokratis berorientasi pada manusia, dan memberikan bimbingan yang efesien kepada para pengikutnya. Terdapat koordinasi pekerjaan pada semua bawahan dengan penekanan pada rasa tanggung jawab internal dan kerjasama yang baik. Kekuatan kepemimpinan demokratis ini bukan terletak pada person atau individu pemimpin akan tetapi kekuatan justru terletak pada partisipasi aktif dari setiap warga kelompok. Kepemimpinan demokratis menghargai potensi setiap individu, mau mendengar nasihat dan sugesti bawahan, juga bersedia mengakui keahlian para spesialis dengan bidangnya masing-masing, mampu memamfaatkan kapasitas setiap anggota seefektif mungkin pada saat-saat dan kondisi yang tepat. Kepemimpinan demokratis sering juga disebut sebagai kepemimpinan group developer.
KEPEMIMPINAN KITA KE DEPAN HARUS BAGAIMAN?
• Pertama, kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan ini menekankan pada tugas yang diemban oleh bawahan. Pemimpin adalah seorang mendesign pekerjaan beserta mekanismenya, dan stafnya adalah orang yang melakukan tugas yang sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. (Aan Komariah dan Cepi Triatna, Visionary Leadership : Menuju Sekolah Efektif, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2005), h. 75.
• Kedua, kepemimpinan Transformasional, kepemimpinan ini hadir untuk menjawab tantangan zaman yang penuh perubahan. Zaman yang dihadapi saat ini bukan zaman ketika manusia menerima segala apa yang menimpanya, tetapi zaman di mana manusia dapat mengkritik dan meminta yang layak dari apa yang diberikannya secara kemanusiaan. Bahkan dalam termenologi Maslow, manusia di era ini adalah manusia yang memiliki keinginan mengaktualisasikan dirinya, yang berimplikasi pada bentuk pelayanan dan penghargaan terhadap manusia itu sendiri.
• Kepemimpinan transformasional tidak saja didasarkan pada kebutuhan akan penghargaan diri, tetapi menumbuhkan kesadaran pada pemimpinan untuk berbuat yang terbaik sesuai dengan kajian perkembangan managemen dan kepemimpinan yang memandang manusia, kinerja, dan pertumbuhan organisasi adalah sisi yang paling berpengaruh. Abraham H. Maslow, Motivasi dan Kepemimpinan, terj. Nurul Iman, (Jakarta : Pustaka Brinama Presindo, 1984) cer.1. h. 41.
• Ketiga, kepemimpinan visioner, merupakan kemampuan pemimpin dalam mencipta, merumuskan mengkomunikasikan, mensosialisasikan, mentransformasikan dan mengimplementasikan pemikiran-pemikiran ideal yang berasal dari dirinya atau sebagai hasil interaksi sosial di antara organisasi dan stakeholders yang diyakini sebagai cita-cita organisasi di masa depan yang harus diraih dan diwujudkan melalui komitmen semua personel.
• Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seorang pemimpin dalam berperilaku dipengaruhi paling tidak oleh empat faktor yang melatarbelakanginya.
• Pertama, faktor keluarga yang langsung maupun tidak langsung telah melekat pada dirinya.
• Kedua, latar belakang pendidikannya yang sangat berpengaruh dalam pola pikir, pola sikap, dan tingkah lakunya.
• Ketiga, pengalaman yang mempengaruhi kebijaksanaan dan tindakannya.
• Keempat lingkungan masyarakat sekitar yang akan menentukan arah yang harus diperankannya.
• KITA SEKARANG HANYA GENERASI MUDA YANG SAAT INI SEDANG BERMIMPI UNTUK MENCAPAI SESUATU.....
• BESOK MERUPAKAN SELEKSI AKHIR BAGI KITA UNTUK MEWUJUDKAN MIMPI-MIMPI KITA DISAAT MUDA DULU
• NANTI ADALAH AKHIR DARI PENGABDIAN YANG SUKSES YANG DIWARISI OLEH GENERASI KITA BERIKUTNYA.....
• WALLAHU A’LAM BI AL-SHAWAB.
SEKIAN DAN TERIMA KASIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar